5 (lima) pejuang warga Desa Telemow, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara atas nama Marthen Sulo, Sakius Sampe, Dina Datu, Marthen Pangala, dan Titus Tomangke yang tengah memperjuangkan hak atas tanahnya dari perampasan PT. ITCI Kartika Utama (KU) berujung pada pelaporan kepolisian. PT. ITCI KU melaporkan kelima warga yang memiliki tanah tersebut ke pihak Kepolisian Daerah (POLDA) Kalimantan Timur (Kaltim) dengan tuduhan penyerobotan lahan Hak Guna Bangunan (HGB) perusahaan. Apa yang dituduhkan tersebut pada dasarnya tidak sesuai sebagaimana faktanya. Pasalnya 5 (lima) warga yang dituduhkan tersebut memperoleh tanah dari penduduk lokal yang sudah dikuasai secara turun-temurun sejak sebelum Indonesia Merdeka. [โฆ]
TELUK BALIKPAPAN: PERMATA EKOLOGIS DI JANTUNG KALIMANTAN TIMUR
TELUK BALIKPAPAN: PERMATA EKOLOGIS DI JANTUNG KALIMANTAN TIMUR
Teluk Balikpapan, yang terletak di pesisir timur Kalimantan dan berbatasan dengan Kota Balikpapan serta Kabupaten Penajam Paser Utara, memainkan peran penting dalam sejarah dan ekologi Indonesia. Sejak zaman kolonial, teluk ini telah menjadi pusat industri minyak, tetapi juga menyimpan kekayaan ekologis yang luar biasa.
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kaltim didampingi Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kaltim didampingi Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kaltim didampingi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Samarinda mengeluarkan seruan. Walhi mengajak pemilih untuk mengamalkan pilah, pilih, dan pulih. Seruan itu dilatarbelakangi keadaan demokrasi yang dianggap mundur beberapa waktu belakangan ini. Pernyataan tersebut disampaikan dalam konferensi pers di sebuah kedai di Jalan Banggeris, Samarinda, pada Selasa, 6 Februari 2024. Direktur Eksekutif Walhi Kaltim, Fatur Roziqin Fen, menjelaskan bahwa seruan ini merupakan gerakan nasional yang diinisiasi Walhi di seluruh Indonesia. Ikin, sapaan pendeknya, menguraikan langkah pertama yaitu prinsip pilah. Pemilih dianjurkan memilah calon presiden dan calon legislatif berdasarkan rekam jejak. Hal-hal seperti pelanggaran konstitusi, hak asasi manusia, lingkungan, [โฆ]
๐๐ฆ๐ง๐ญ๐ฆ๐ฌ๐ด๐ช 45 ๐๐ข๐ฉ๐ถ๐ฏ ๐๐๐๐๐ ๐๐ฆ๐จ๐ช๐ฐ๐ฏ ๐๐ข๐ญ๐ช๐ฎ๐ข๐ฏ๐ต๐ข๐ฏ Lebih dari sekadar angka usia, 45 tahun perjuangan WALHI di Kalimantan adalah kisah panjang tentang perlawanan dan harapan. Di tanah yang dulu dijaga dengan adat dan kearifan, kini berdiri proyek-proyek besar yang mengatasnamakan pembangunan. Tapi di balik janji kemakmuran itu, Kalimantan justru menanggung luka paling dalam:
hutan-hutan habis ditebang,
sungai tercemar racun tambang,
masyarakat adat dipaksa meninggalkan tanah yang sudah mereka rawat turun-temurun.
Di selatan, krisis ekologis dan sosial menunjukkan wajah terburuknya. Deforestasi, tambang batu bara, dan sawit sudah menguasai hampir setengah wilayah provinsi. Bahkan kawasan hutan lindung pun ikut dirampas. Ironisnya, rencana Taman Nasional Meratus yang seharusnya melindungi justru menimbulkan kekhawatiran baru “masyarakat adat bisa tersingkir dari wilayah kelolanya sendiri”. Banjir, kebakaran, pencemaran semuanya jadi bukti bahwa daya dukung lingkungan kita runtuh. Bagi WALHI Kalsel, perjuangan lingkungan tak bisa dipisahkan dari perjuangan demokrasi: melindungi pembela lingkungan, mengakui hak masyarakat adat, dan menata ulang izin tambang serta sawit adalah kunci menuju keadilan ekologis di Meratus dan seluruh Kalimantan Selatan.
Di barat, tekanan ekologis dan sosial juga meningkat tajam. Lebih dari 157 ribu hektar hutan hilang dan sebagian besar karena perusahaan seperti PT Mayawana Persada. Kebijakan nasional yang mendorong โhilirisasi industriโ malah mempersempit ruang hidup rakyat. Tambang emas tanpa izin makin marak, memperlihatkan lemahnya pengawasan negara. Kini Kalbar berada di persimpangan “mau terus jadi ladang eksploitasi, atau berani menegakkan keadilan ekologis yang menempatkan hak rakyat dan kelestarian alam di depan?”.
Perjalanan 45 tahun WALHI Kalteng mengingatkan bahwa melindungi lingkungan berarti melindungi kehidupan itu sendiri. Dari tambang, sawit, sampai proyek โhijau semuโ berbasis karbon, semuanya menuntut WALHI untuk terus memperkuat posisi politik ekologis dan solidaritas rakyat. Dari Palangka Raya sampai kampung-kampung di tepi sungai besar, semangat menjaga bumi tetap menyala “karena perjuangan ini bukan sekadar melawan perusak alam, tapi merebut kembali makna keadilan untuk rakyat”.
Di timur, paradoksnya paling pahit. Provinsi yang disebut paling kaya justru menyimpan kemiskinan ekologis paling dalam. Sejak 1956, hutan digantikan tambang dan sawit. Kini, dalam lima tahun terakhir, proyek besar bernama IKN jadi simbol nasionalisme yang dibangun dari beton dan menyingkiran. Laut Teluk Balikpapan yang dulu jadi sumber kehidupan, kini dipenuhi industri dan kehilangan. Kekayaan Kaltim berubah jadi komoditas, bukan kesejahteraan. Generasi baru tumbuh tanpa hutan, tanpa sungai, tanpa martabat. Namun dari setiap luka, tumbuh daya hidup baru.
Dari tanah yang rusak, lahir tekad untuk memulihkan. Dari ketidakadilan, muncul kesadaran untuk melawan. Di sinilah Kalimantan berdiri tegak! bukan hanya ruang perjuangan, tapi simbol harapan. Harapan bahwa hidup adil bagi manusia dan alam masih mungkin diperjuangkan bersama tanpa menyerah. Dari Meratus hingga Teluk Balikpapan, dari Kapuas hingga Kahayan, Hulu hingga hilir Mahakam masih mengalirkan semangat para penjaga yang tak pernah padam.