Oleh: Awal Nur Afdhal (volunteer Walhi Kalimantan Timur)

 

Pada awal Juli hingga akhir Agustus, saya berkesempatan belajar bersama warga Mentawir di Kalimantan Timur. Dari mereka, saya memahami bagaimana masyarakat lokal hidup selaras dengan alam, menjaga hubungan antara kultur dan ekosistem. Masyarakat Mentawir telah membangun kehidupan di sana selama kurang lebih 30 tahun, dan salah satu spesies yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka adalah Owa. Satwa ini yang kini menghadapi ancaman serius akibat pemindahan Ibu Kota dan aktivitas industri besar-besaran di wilayah Kalimantan. 

Perubahan tata ruang akibat pemindahan Ibu Kota serta aktivitas penebangan hutan untuk kepentingan komersial, termasuk Hutan Tanaman Industri (HTI), menjadi ancaman nyata bagi keberlangsungan Owa dan ekosistem sekitarnya. Dalam konteks ini, peran masyarakat lokal dalam menjaga satwa dan ekosistem menjadi sangat penting. Namun, satu pertanyaan yang mengemuka adalah, bagaimana kebijakan pemerintah dapat melindungi satwa liar tanpa merenggut hak masyarakat atas wilayah kelola mereka? 

Seperti yang diungkapkan oleh Sanuddin, salah seorang warga Mentawir, Owa bukanlah musuh bagi manusia. Mereka hidup di hutan hutan, sesekali berkeliaran di kebun tanpa merusak tanaman warga. Namun, sekarang ini  Owa semakin jarang ditemui. Penyebabnya adalah aktivitas Hutan Tanaman Indistri (HTI)  yang merusak habitat alami Owa dan memaksa mereka menjauh. “Owa adalah penjaga hutan yang baik,” ujar Sanuddin. Mereka membantu menyebarkan biji-bijian yang kemudian berkecambah dan dinikmati oleh manusia. Artinya, keberadaan Owa dan hutan adalah satu kesatuan ekosistem yang saling bergantung. 

 

Dalam konteks tradisi dan adat lokal, masyarakat Mentawir memandang Owa bukan hanya sebagai satwa liar, melainkan sebagai bagian dari kultur yang hidup bersama mereka. Mereka menganut nilai-nilai penghormatan terhadap satwa, karena percaya bahwa ada hal-hal mistik yang menghubungkan manusia dan satwa. Hal ini memperlihatkan bahwa pelindungan terhadap Owa bukan hanya tentang memberi hak hidup kepada satwa, tetapi juga menjaga keseimbangan antara manusia, satwa, dan ekosistem. 

 

Pandangan ini juga didukung oleh akademisi seperti Kawakibi Muttaqien, yang dalam tulisannya mengakui bahwa kehidupan satwa seperti Owa bersifat diferensial. Dalam hutan, Owa memiliki ruang bebas yang tak tergantikan oleh penangkaran. Namun, di sisi lain, Muttaqien berpendapat bahwa penangkaran setidaknya bisa memberi rasa aman dari ancaman perburuan liar. Akan tetapi, pandangan ini masih menyisakan pertanyaan mendasar: bagaimana menjaga Owa di habitat alami mereka tanpa mengganggu kehidupan manusia? 

 

Wilayah Kelola Rakyat sebagai Solusi Perlindungan Owa dan Ekosistem 

WALHI, sebagai organisasi advokasi lingkungan, melihat bahwa perlindungan satwa dan ekosistem tidak bisa dipisahkan dari hak-hak masyarakat atas wilayah kelola mereka. Zenzi Suhadi Direktur Eksekutif Naional WALHI menekankan, “Yang harus dikonservasi bukan cuma satwanya, tetapi tradisi dan budaya masyarakat lokal yang hidup dalam ekosistem yang sama juga harus dijaga dan dilindungi”. 

 

Pendekatan WALHI ini menawarkan perspektif yang lebih inklusif dan holistik dalam upaya konservasi. Perlindungan terhadap satwa tidak cukup hanya dengan mendirikan kawasan konservasi satwa liar, tetapi harus mencakup pengakuan dan perlindungan terhadap Wilayah Kelola Rakyat, yang secara historis telah menjaga ekosistem dengan caranya sendiri. Ini berarti bahwa masyarakat lokal harus diberi peran lebih besar dalam mengelola wilayah mereka, dengan pendekatan yang menghormati budaya lokal serta adat-istiadat yang telah lama menjaga harmoni antara manusia dan alam. 

 

Kebijakan konservasi yang hanya berfokus pada satwa tanpa memperhatikan kebutuhan manusia, terutama masyarakat lokal, berisiko menimbulkan konflik. Salah satu kekhawatiran warga Mentawir adalah penetapan kawasan konservasi yang bisa berpotensi merampas wilayah kelola mereka. Lamale, salah seorang warga, mengingatkan bahwa satwa penting untuk dilindungi, tetapi manusia tidak boleh diabaikan. “Keduanya sama penting,” tegasnya. 

 

Seperti yang diteliti oleh T. Setia di kawasan Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat, Owa dan burung Kutilang berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem hutan tropis. Dengan menyebarkan biji-bijian melalui kotoran mereka, Owa berkontribusi dalam regenerasi hutan yang pada akhirnya juga menguntungkan manusia. Ini adalah contoh bagaimana satwa dan manusia memiliki hubungan yang saling menguntungkan dalam ekosistem yang utuh. 

 

Namun, deforestasi besar-besaran, terutama oleh industri ekstraktif seperti HTI, secara langsung mengancam kelangsungan ekosistem ini. Aktivitas ekonomi yang merusak hutan demi kepentingan komersial harus dipandang sebagai ancaman besar, bukan hanya terhadap satwa liar, tetapi juga terhadap kehidupan masyarakat yang bergantung pada hutan. 

 

Perlindungan terhadap Owa di Kalimantan dan ekosistem yang lebih luas tidak dapat dipisahkan dari pengakuan atas hak-hak masyarakat lokal. Kehidupan yang saling berdampingan antara manusia dan satwa, seperti yang masih ada di Mentawir, adalah contoh penting dari bagaimana konservasi yang berbasis pada tradisi dan budaya lokal dapat menjadi solusi yang lebih berkelanjutan. 

 

Pengakuan dan perlindungan terhadap wilayah kelola rakyat tidak hanya akan melindungi Owa dan satwa lainnya, tetapi juga akan melindungi ekosistem hutan serta tradisi yang telah menjaga hutan tersebut selama berabad-abad. Dalam konteks ini, perjuangan untuk melindungi satwa liar adalah juga perjuangan untuk melindungi hak-hak rakyat yang telah lama hidup harmonis dengan alam. 

 

Scroll to Top