Sun, 26 May 2019
Indonesia-China Bangun 28 Mega Proyek
Kerja sama antara Indonesia dengan Tiongkok yang dilakukan melalui kerangka Belt dan Road Initiative, dianggap akan membebani rakyat. Seperti diketahui, tidaknya ada sekitar 28 proyek pembangunan yang akan dilakukan, dengan nilai mencapai Rp 1.296 Triliun yang sebelumnya ditawarkan pemerintah Indonesia.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Kaltim dan Kaltara Yohana Tiko mengatakan, walaupun berdalih melakukan percepatan pembangunan, namun disayangkan proyek-proyek itu masih bersingungan dengan pemenuhan listrik energi kotor batu bara di dalamnya.
Proyek yang dimaksud tersebut antara lain PLTU batu bara berkapasitas 1.000 Megawatt (MW) di Kawasan Industri dan Pelabuhan Internasional (KIPI) Tanah Kuning-Mangkupadi, Bulungan, Kalimantan Utara. Dan dua PLTU lainnya di Kalimantan Tengah serta Bali.
“Tentu dalam hal ini Pemprov Kaltara perlu mengingat bahwa imbas dari pembangunan itu akan berpengaruh pada kondisi lingkungan. Dan ini patut diatensi mulai dari sekarang, apalagi provinsi ini masih baru,” ujar Tiko, sapaan akrabnya.
Dia mengatakan, dari informasi yang diperoleh, proyek-proyek pembangkit listrik batu bara masih mendominasi sektor listrik pada pinjaman Belt and Road Initiative tersebut dengan porsi yang besar, yaitu 42 persen. Hal ini tentu bertentangan dengan upaya global untuk menurunkan emisi dari sektor energi.
Sementara, negara-negara lain sudah mulai meningggalkan energi kotor batubara, namun menurutnya, Pemerintah China melalui pembiayaan bank-bank nasionalnya justru melanggengkan ketergantungan terhadap energi fosil ini.
“Pemerintah Indonesia memang memberikan syarat bagi masuknya investasi proyek kali ini. Namun terkait pinjaman luar negeri, imbas paling nyata adalah adanya hutang yang nantinya jadi beban rakyat,” imbuhnya.
Diketahui pemerintah memang memberikan syarat kepada para investor, seperti harus menggunakan tenaga kerja asal Indonesia. Kedua, investasi harus memproduksi barang yang bernilai tambah (added value). Ketiga, perusahaan asal China wajib melakukan transfer teknologi kepada para pekerja lokal. Keempat, Pemerintah Indonesia memprioritaskan konsep investasi melalui business to business (B to B) bukan government to government (G to G). Kelima, jenis usaha yang dibangun harus ramah lingkungan. Hanya saja yang perlu juga dilihat, apakah selama ini proyek yang dibiayai oleh Negeri Tirai Bambu ini melaksanakan ketentuan tersebut.
Apalagi sejauh ini Indonesia masih mengelola utang dari Pemerintah China. Data terakhir yang dirilis Bank Indonesia melalui Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI) April 2019, menunjukkan status terakhir posisi utang luar negeri pada Februari 2019 dari Pemerintah China sebesar 17,7 Miliar USD atau setara dengan Rp 248,4 Triliun jika dihitung dengan kurs Rp 14.000. Lebih spesifik di kelola Pemerintah sebesar Rp 22,8 Triliun dan Swasta sebesar Rp 225,6 Triliun. “BUMN itu masuk kategori swasta dalam catatan utang Indonesia. Sehingga dinilai, baik itu G to G atau B to B yang didominasi BUMN, tetap akan menjadi tanggungjawab Negara dan pasti menjadi Beban Rakyat Indonesia,” tegasnya.
Pembiayaan energi kotor batubara masih berjalan dengan melakukan MoU untuk 3 PLTU Batu bara. MoU bersama Toba Bara dengan Luhut sebagai salah satu pemiliknya menimbulkan konflik kepentingan. Dua PLTU tersebut juga sudah dibiayai oleh Bank Mandiri dan PT SMI, dan projectnya sudah berjalan. Satu lagi tidak jelas lokasinya di mana dan siapa pembangunnya.
Ditambahkan, pembangunan KIPI Tanah Kuning dengan PLTA dan smelter menunjukan bahwa paradigma pembangunnnya masih mengandalkan industri ekstraktif dan ekspor bahan mentah. Di tengah jatuhnya harga komoditas pembangunan smelter almunium di beberapa tempat sekaligus malah akan makin merusak lingkungan secara luas dan menjatuhkan harga.
© WALHI Kalimantan Timur 2018