Tue, 27 Aug 2019
Masyarakat Adat Masih Tersisih
SAMARINDA, 15 Agustus 2015 - Selama ini Masyarakat Hukum Adat (MHA) di Indonesia masih menjadi bagian yang tersisih di tengah-tengah warga negara lainnya. Maka peran pemerintah untuk menguatkan eksistensi MHA menjadi sangat penting dengan memangkas syarat rumit dengan mendorong secepatnya pengesahan Undang-Undang Masyarakat Adat yang kini sedang digodok DPR.
Mewakili Presiden Jokowi, Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Siti Nurbaya pada acara Peringatan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia yang berlangsung di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Jumat (9/8) lalu menyebut sangat berpihak dan begitu mencintai MHA yang ada di Indonesia. Tetapi hal itu belum jadi garansi masyarakat adat bebas dari berbagai konflik dalam mengelola sumber daya alamnya. Karena kondisi di lapangan kerap berbeda dengan ucapan penguasa, apalagi jika bersinggungan dengan kepentingan investasi.
Sebenarnya, pengakuan, penghormatan dan perlindungan negara terhadap hak masyarakat adat sudah sangat jelas dan tegas tercantum dalam penjelasan UUD 45 Pasal 18. Disebutkan jika masyarakat tradisional mempunyai hak dan asal-usul yang harus dihormati negara. “Tapi dalam penerapannya masih sering masyarakat adat tersingkir dengan kepentingan investasi yang mengeruk sumber daya alam secara besar-besaran,” ucap Yohana Tiko, Direktur Eksekutif Walhi Kaltim.
Ia melanjutkan, dengan adanya kepentingan SDA tersebut membuat perlindungan terhadap eksistensi dan hak masyarakat adat terpinggirkan. Lantaran, bagaimana pun juga SDA banyak berada dalam wilayah masyarakat adat. Sejurus kemudian, beberapa UU dan peraturan yang mengurangi, menghalangi, membatasi, dan mencabut hak-hak masyarakat adat bermunculan. “Akhirnya masyarakat adat tidak dapat mempertahankan hak-hak dan eksistensi tradisionalnya,” imbuhnya.
Apalagi dalam pidatonya Jokowi juga menyebut pada periode keduanya ini bakal membuka ruang investasi seluas-luasnya. Hal ini dinilai sangat membahayakan bagi masyarakat adat dan lingkungan hidup. Dengan anggapan membuka keran investasi ini dapat mendongkrak kesejahteraan masyarakat dengan terbukanya lapangan pekerjaan. “Ini seperti logika yang dipaksa logis, padahal pandangan tersebut adalah pandangan usang. Rakyat semestinya ditempatkan sebagai subjek yang mampu mengelola kekayaan alamnya,” katanya.
Semua rencana tersebut menurut Jokowi karena melihat konteks global. Sayangnya, Presiden dalam hal ini tidak memahami secara utuh persoalan. Lantaran saat ini salah satu isu prioritas para pemimpin dunia, seperti perubahan iklim dianggap ancaman terhadap keselamatan makhluk hidup. “Narasi investasi yang disampaikan Presiden bertentangan dengan komitmen politik pada misi ke-4 yakni Mencapai Lingkungan Hidup yang Berkelanjutan,” sebutnya.
Hal ini yang membuat Walhi merasa jika upaya pemerintah untuk menguatkan eksistensi MHA masih belum optimal. Maka ia memandang perlu pengakuan untuk masyarakat adat ini bukan lagi masuk pada tahap komitmen semata, melainkan harus konkret. “Pengakuan konkret untuk masyarakat adat tersebut harus diberikan hingga pada cara hidup, model pengelolaan SDA hingga kepercayaan yang sudah ada,” tuturnya.
Terbukti di Kaltim, salah satu masyarakat adat, Theodorus Tekwan Ajat dikriminalisasi akibat pempertahankan wilayah kelola adat dan menyelamatkan kampungnya dari ancaman praktik buruk pengelolaan SDA dari perusahaan HPH, PT Kemakmuran Berkah Timber (KBT). Kelakuan perusahaan yang menyerobot lahan warga ini diharapkan bisa menjadi perhatian pemerintah. “Saya akan laporkan persoalan ini kepada Presiden Jokowi. Karena kami merasa sumber kehidupan kami sudah terganggu,” ucap Tekwan.
Dalam waktu dekat, Tekwan akan bersurat langsung kepada Jokowi dengan memaparkan serangkaian intimidasi yang dilakukan oleh PT KBT hingga dirinya ditetapkan menjadi tersangka hingga saat ini. Walaupun sebenarnya dirinya hanya mencoba melakukan protes karena perusahaan menebang di wilayah adat. “Perusahaan sudah menganggu ketentraman kehidupan dan merusak hutan yang jadi identitas kami sebagai orang Dayak Bahau Busang. Saatnya Negara hadir di Kampung Long Isun dan memberikan legalitas sekaligus daulat penuh terhadap hutan adat kami yang diancam keberadaannya oleh PT KBT,” tegasnya.
© WALHI Kalimantan Timur 2018